Batik Bali di Tengah Industri Pertenunan

Batik Bali di Tengah Industri Pertenunan

Keindahan Batik Bali belum dapat dinikmati perkembangannya secara baik di Provinsi Bali, karena kebanyakan para pengrajin lebih banyak menekuni industri pertenunan.

Batik Bali di Tengah Industri Pertenunan

Seperti yang dilakukan oleh Ida Bagus Made Adnyana yang selama ini mendampingi istrinya Ida Ayu Ngurah Puniari yang mengerjakan tenun songket warna alami dan kain Bebali dengan merek “Tuhu Batu.” Bagus sendiri dulunya adalah pelukis, sementara istri yang menggeluti usaha tenun.

Menurut Bagus, selama ini ia membantu istrinya mencari bahan untuk kain pewarna alam. Dari situ Bagus menemukan akar Mengkudu untuk menghasilkan warna merah dan kuning; juga daun Tarum untuk memperoleh warna biru. Warna coklat diambil dari tanaman Mahogani, dan warna kuning juga bisa diambil dari Kayu Nangka.

Motif Batik Bali yang ada kebanyakan adalah berbagai corak bunga. Setelah itu saya belajar ilmu membatik di atas kain dari seorang kawan, Tjok, namanya yang selama ini banyak menggeluti atau bergerak di Yayasan Pencinta Kain Bebali. Yayasan ini berusaha melestarikan kain tenun dari Bali, termasuk juga di dalamnya koleksi berbagai Batik Nusantara.

Dari hasil belajar tersebut, saya memperoleh pengalaman membatik, terutama yang dilakukan di atas kain sutera dan kain katun. Jadi saya tidak membatik di atas kain mori.

Untuk dapat dibatik, kain sutera dan katun tersebut perlu direndam dengan kemiri, selama lebih kurang satu minggu. Sebab kalau waktunya kurang dari satu minggu, kain tersebut tidak dapat menyerap zat warna alam.

Dilihat dari penggunaannya, kain batik ataupun kain tenun digunakan sebagai kain lapis kedua, yang biasa dipakai dalam upacara-upacara adat harian ataupun upacara khusus hari-hari besar agama Hindu. Adat kami juga membiasakan penggunaan kain adat dalam kitab pewayangan.

Sementara itu proses pengerjaan membatik, mulai dari melukis corak, sampai pembatikan diperlukan waktu sekitar dua minggu. Itu karena proses pencelupan warna dilakukan sampai lima kali, baru warna aslinya muncul ke permukaan.

Bagus sendiri bersama anaknyaa, mencoba produksi batik tersebut, tetapi belum dikomersilkan. Karena menghadapi kendala bagaimana menjadikan Batik Bali ini menjadi industri rumahan, yang nantinya juga diharapkan meningkat lagi menjadi industri yang lebih berkembang, kami harapkan Kementerian Perindustrian pusat ataupun Dinas Industri dan Perdagangan setempat memberi arahan, agar industri ini ke depannya lebih baik.

Apalagi selama ini teknik pewarnaan di Bali cenderung lebih banyak menggunakan pewarna sintetis, yang produksinya relatif lebih sederhana dibanding menggunakan pewarna alam. Karena itu Bagus meminta dukungan dari instansi setempat agar mendukung penggunaan pewarna alam, yang kelihatannya lebih berpihak pada lingkungan dibanding penggunaan pewarna dari bahan kimia.

Bagus dan rekannya juga belum terbiasa menggunakan canting seperti para pembatik yang ada di wilayah Jawa, karena alat membatik ini belum dapat ditemui secara mudah di wilayah Bali. Mereka harus membelinya dengan harga “agak mahal” karena canting tersebut harus diambil dari daerah di wilayah Jawa.

Itu sebabnya mereka perlu diarahkan lagi, termasuk dalam hal perhitungan ekonominya, berapa harga bahan baku, pengolahan, sampai aspek pemasaran. Bagus yang produksi batik Bali berada di daerah Sukawati, Gianyar, Bali.

 

Batik Bali di Tengah Industri Pertenunan

You May Also Like

About the Author: Arsip Digital

Berbagi informasi dan pengetahuan dalam arsip digital online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *